Jumat, 26 Maret 2010

sejarah sarkem

Pasar Kembang atau yang lebih dikenal dengan sarkem merupakan satu-satunya tempat pelacuran ‘terorganisir’ yang tersisa di Kota Yogyakarta. Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu. Perubahan nama dari Balokan menjadi Sarkem, belum bisa dipastikan kapan.

Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang.

RW Sosrowijayan Kulon ini terdiri dari 4 RT yaitu RT 14, 15, 16 dan 17 dengan luas wilayah 112.500m2. Pada tahun 2003 dihuni oleh 63 KK, terdiri dari 223 jiwa laki-laki dan 216 perempuan. Jumlah ini di luar jumlah Pekerja Seks yang tinggal dan kerja di wilayah ini. Jumlah Pekerja Seks yang kerja di Sarkem pada tahun 2008 mencapai kurang lebih 300-400 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang bekerja dan tinggal di wilayah Sarkem dan Pekerja Seks yang tinggal di luar Sarkem tapi ‘mencari uang’ di Pasar Kembang. Dengan jumlah, jika siang hari kurang lebih tiga ratus orang dan sore hingga dini hari kurang lebih 400 orang Pekerja Seks (data statistic yang rinci dan pasti sulit untuk didapat karena mobilitas Pekerja Seks yang tergolong tinggi

Pada tahun 2007, sempat muncul gagasan dari Istijab, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI),

“Sarkem cukup prospektif dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di DIY termasuk kemungkinan sebagai kawasan wisata seks, kita gak usah munafiklah. Kalau ada “tamu” di hotel kita biasanya khan mereka mau diantar ke Sarkem. Di negara lain Malaysia dan Singapura misalnya, khan juga ada sentra wisata seks. Selain ada pendapatan untuk daerah khan penyebaran HIV/AIDS bisa dikurangi karena lebih terpusat di satu tempat saja” (www.wawasandigital.com, 07 Desember 2007).

Usulan ini tentu saja langsung ditolak oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan alasan bahwa DIY takkan menghalalkan segala cara untuk mendongkrak sektor andalan DIY. Dan cara untuk mendongkrak PAD (Pendapatan Asli Daerah) seperti dikatakan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogya, Hadi Mochtar bahwa pemerintah mendukung pengembangan Sarkem menjadi kawasan wisata andalan di pusat kota, tapi tidak sebagai wisata seks, yang akan dikembangkan adalah dari segi lainnya seperti kesenian tradisional dan pengembangan hotel serta restaurant setempat. Usulan menjadikan Sarkem sebagai kawasan wisata seks dianggap menyakitkan dan bertentangan dengan ruh Keistimewaan DIY. Masyarakat Yogya perlu menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, kesopanan, kesusilaan dan agama. Hal ini disampaikan oleh Ketua DPD Partai Golkar DIY dan Wakil Ketua DPRD DIY, Drs.Gandung Pardiman, MM.

“Kami berharap kepada Pemerintah Kota Yogyakarta, khususnya Walikota Yogyakarta untuk tidak sekali-sekali tergiur dengan objek wisata ‘lendir’ itu. Penataan dan pembinaan kawasan Sarkem silahkan saja dilakukan, namun jangan sampai justru menumbuhsuburkan praktek prostitusi. Penataan Yogya sebagai kota budaya dan tujuan wisata jangan sampai mengorbankan nilai-nilai moralitas. Maka ide menjadikan Sarkem sebagai kawasan budaya seks harus ditentang bersama”. (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)

Penolakan keras terhadap praktek prostitusi di DIY khususnya Pasar Kembang sudah dinyatakan secara terbuka oleh pemerintah DIY baik eksekutif maupun legislative, karena bertentangan dengan ruh keistimewaan DIY,

“Masyarakat DIY hendaknya senantiasa tidak melupakan ruh Keistimewaan DIY, dengan garis imaginer Kraton-Panggung Krapyak yang mempunyai makna Hablu Minannas yaitu simbol hubungan Kraton dengan rakyat, serta garis imaginer Kraton-Merapi sebagai Hablu minallah yaitu simbol hubungan Kraton dan Rakyat Yogya dengan Allah SWT. Semua itu tercermin dengan kedudukan Sri Sultan HB yang memiliki gelar Abdurahman Sayyidin Panotogomo Kalifatullah, dimana Sultan adalah sebagai pemimpin agama dan wakil Tuhan di muka bumi, sehingga Kraton menjadi pusat religius, pemerintahan dan budaya” (Budenk’s Weblog.com, 1 Desember 2007)

Tapi kemudian jika melihat letak wilayah Pasar Kembang yang sangat dekat dengan stasiun sebagai tempat lalu-lintas orang dari berbagai tempat untuk berbagai kepentingan di Yogyakarta, maka tidak heran jika terbangun relasi ekonomi yang kuat dan ini jelas berimbas pada kegiatan perekonomian warga sekitar Stasiun Kereta Api Tugu yaitu dengan menyediakan fasilitas seperti penginapan, warung makan, rumah makan. Warga yang tinggal di daerah ini kemudian mengandalkan sektor wisata domestik dan kegiatan prostitusi sebagai mata pencarian, misalnya dengan menyewakan kamar termasuk untuk short time selain itu juga menyediakan tempat tinggal untuk Pekerja Seks. Sementara RW Sosrowijayan Wetan, merupakan kampung yang pada tahun 1970an, mulai bermunculan hotel, losmen, warung dan fasilitas pariwisata lainnya, tapi sangat sedikit yang digunakan untuk aktititas prostitusi. Berikut ini mengenai peraturan larangan pelacuran di DIY, yang dapat menjadi salah satu bukti bahwa praktek prostitusi di Wilayah Pasar Kembang sudah berlangsung sejak lama.

PERDA tentang Pelacuran di DIY

Produk PERDA dibawah ini dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dan DIY, sebagai Berikut:

Rijksblaad tahun 1924, nomor 19. Artikel 1 dan 2 menyebutkan larangan rumah-rumah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan pelacuran. Ini berarti jauh sebelum peraturan tersebut dikeluarkan sudah ada kegiatan pelacuran di Sarkem

Peraturan Daerah No. 15/1954, yang dikeluarkan pada tanggal 2 November 1954. PERDA ini mengenai penutupan rumah-rumah pelacuran. Pasal 1, yang dimaksud dengan rumah-rumah pelacuran ialah rumah atau bangunan lainnya, termasuk pekarangan yang digunakan untuk pelacuran. Pelacuran ialah tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 alinea 3 berbunyi penutupan tersebut (ayat 1) berlaku bagi seluruh/sebagian rumah atau pekarangan tersebut. Pasal 3 berbunyi bahwa siapa pun dilarang mendatangi rumah atau pekarangan itu kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 5 dalam peraturan ini. Pasal 7, Larangan tersebut dapat dicabut apabila dalam tiga bulan kemudian rumah itu tidak dipergunakan untuk pelacuran, penutupan rumah tersebut diperpanjang lagi apabila masih dipergunakan untuk pelacuran. Pasal 8 berbunyi pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 3 dan 4 dapat dikenakan kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya, Rp. 100,- (seratus rupiah).

Peraturan Daerah No. 18/1954 yang dikeluarkan pada tanggal 4 November 1954, tentang larangan pelacuran di tempat-tempat umum. Pasal 1 mengenai batasan mengenai pelacuran, yaitu tindakan orang yang menyerahkan badannya untuk berbuat zina dengan mendapatkan upah. Pasal 2 berisi tentang maksud tempat umum yaitu jalan-jalan, tanah-tanah lapang, ruangan-ruangan dan lain sebagainya yang oleh umum mudah dilihat atau didatangi. Pasal 3 berisi, tentang larangan bagi siapa saja yang ada di tempat umum membujuk orang lain baik dengan perkataan, perbuatan, isyarat dan cara lain yang bermaksud untuk melakukan perbuatan mesum. Pasal 5 bagi siapa saja yang melanggar pasal 3 tersebut dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya satu bulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah

Pemerintah daerah melihat bahwa meskipun telah ada larangan kegiatan pelacuran di rumah-rumah yaitu dengan dikeluarkannya Rijksblaad tahun 1924, nomor 19 dan peraturan daerah No. 15/1954, tetapi masih tetap ada rumah-rumah yang dipergunakan untuk kegiatan pelacuran oleh karena itu dikeluarkan keputusan kepala daerah No.166/K.D/1974, yang keluarkan pada tanggal 15 November 1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek resosialisasi Wanita Tuna Susila di kota Yogyakarta. Keputusan tersebut antara lain menunjuk tanah pemerintah seluas 7200 meter persegi terletak di dusun Mrican, tepatnya sebelah barat Sungai Gadjah Uwong, sebagai tempat pelaksanaan Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila Yogyakarta. Kemudian untuk merealisaikan keputusan kepada daerah tersebut pada tanggal 20 November 1974 Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan NO 17/K.D/1974 tentang tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila. Pada salah satu keputusannya dicantumkan anggota tim pelaksana Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila tersebut antara lain terdiri dari Tripida kecamatan setempat dan Ketua Rukun kampung Wilayah Sarkem.

Selanjutnya pada tanggal 2 Maret 1976, atas nama Walikota Pj. Sekwilda pada saat itu, mengeluarkan surat pemerintah No.02940/01040/Sek./1976 tentang perintah pelaksanaan pemindahan mucikari beserta anak buahnya selambat-lambatnya tanggal 2 Maret 1976, pukul 24.00WIB dan melaksanakan bimbingan dan pengawasan kampung lama yang ditinggalkan.

Setelah Resosialisasi Wanita Tuna Susila di Kota Yogyakarta terealisasi, pada tanggal 6 Maret 1976, Pjs Sekretaris Daerah mewakili Walikota Yogyakarta mengeluarkan instruksi Walikota Madya kepada daerah tingkat II No. 01/IN/1976 tentang mengintensifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan daerah No.18 tahun 1954. Dalam instruksi tersebut dikemukakan perlu adanya tindak lanjut tahap pemberantasan dan pembersihan pelacur di Wilayah Kota Yogyakarta, terkecuali tempat yang dimaksud dalam keputusan Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974. selain itu, tim pelaksana dalam keputusan No.170/KD/1974 agar mengaktifkan dan menertibkan pelaksanaan peraturan daerah nomor 18 tahun 1954.

Pada tanggal 1 September 1977, Walikota Yogyakarta memandang perlu melengkapi surat keputusan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan resosialisasi di Desa Mrican, yaitu dengan mengeluarkan keputusan No. 93/K.D/1977 tentang jalur pemisahan antara areal Resosialiasi Wanita Tuna Susila dan perkampungan umum sekitarnya.

Pemerintah melihat bahwa Wanita Tuna Susila, Gelandangan dan Pengemis yang selalu ada maka pada tanggal 24 agustus 1989 dikeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DIY No. 54/TIM/1989, tentang pembentukan tim penanggulangan Gelandangan, Pengemis dan Wanita Tuna Susila di Propinsi DIY.

Masih terkait dengan hal diatas pada tanggal 23 Desember 1993, Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan No.1040/KD/1993 tentang pola penanggulangan gelandangan, pengemis dan pola penanggulangan Wanita Tuna Susila. Pada keputusan ini Bab 3 (Tiga) merupakan pola penanggulangan Wanita Tuna Susila, didalamnya termasuk penanggulangan secara preventif, represif dan kuratif.

Walaupun dalam pola penanggulangan Wanita Tuna Susila diatas tertera pula resosialisasi tetapi pada tanggal 31 Desember 1997, Walikota Yogyakarta mengeluarkan keputusan No. 408/KD/1997 tentang Pencabutan Keputusan Walikota Yogyakarta No.166/KD/1974 tentang penunjukkan tempat untuk proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila.

Walaupun ada PERDA yang melarang Wilayah Sosrowijayan Kulon sebagai tempat praktek prostitusi yang diberlakukan sejak tanggal 2 Maret tahun 1976, tapi selama itu juga dan hingga saat ini tahun 2009, wilayah ini tetap digunakan untuk kegiatan prostitusi. Hal ini jelas, karena ada ikatan ekonomi yang kuat antara warga setempat dengan Pekerja Seks, dan juga dengan lingkungan Sosrowijayan Wetan yang menyediakan berbagai fasilitas yang berhubungan dengan pariwisata, karena daerah ini merupakan jantung Kota Yogyakarta dan dekat dengan lingkungan pariwisata andalan DIY yaitu Malioboro, Keraton, Taman sari, dll



-- Rosna Bernadetha --
Daftar Pustaka
Jones,W Gavin, Terence Hull, Endang Sulistyaningsih, 1995.“Prostitution in Indonesia“, Canberra, Australian National University Press
Mudjijono, 2005. “Sarkem, Reproduksi Sosial Pelacuran”. Yogyakarta, Gadjah mada University Press.
Hasil interview dengan Warga dan Pekerja Seks Pasar Kembang, Oktober – Januari 2009
Http://www.Budenk’s Weblog.com
Http://www.wawasandigital.com
Read rest of entry
 

My Profil

Foto saya
namaku edwin, kegiatanku sekarang kuliah di salah satu universitas swasta di yogyakarta

My Blog List

advertise here

Blog Ads